Langsung ke konten utama

Pelajaran dari Kafe di Kampung

Kali ini saya akan menceritakan salah satu pengalaman saya pulang kampung setelah sekian lama dan diskusi saya bersama beberapa teman saya saat pulang kampung ini.

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya saya itu kurang pandai bergaul dan teman saya saat SD dan SMP sedikit jadi kalau saya pulang kampung ya pasti nongkrong dengan orang yang itu-itu saja. Saat saya pulang kampung kemarin saya sudah keluar dari pekerjaan lama saya jadi statusnya pengangguran. Saya bisa di rumah sekitar empat bulan sebelum kembali ke Jakarta karena diterima di tempat kerja baru saya. Selama empat bulan saya bisa mengunjungi beberapa sanak saudara dan menjelajahi kampung halaman saya. sepertinya saya sudah hampir 7 tahun tidak keliling-keliling.

Saat saya keliling-keliling saya memperhatikan sudah banyak fasilitas-fasilitas publik yang dulu tidak ada sekarang sudah ada atau yang dulu ada sekarang sudah lebih baik. Tempat nongkrong jadi lebih banyak, pertokoan ada di mana-mana. Dulu tidak ada toko komputer sekarang ada. Dulu tidak ada kafe sekarang ada. Dulu cuma ada satu POM bensin sekarang ada tiga. Dulu cuma ada dua minimarket sekarang sudah ada lima.

Yang akan saya bahas adalah kafe karena salah satu kafe yang ada sekarang adalah milik teman saya ini jadi saya penasaran kenapa bisa kepikiran membuka kafe ini. Yang lebih membingungkan adalah sebelumnya teman saya ini adalah sarjana ekonomi dari sebuah universitas negeri yang besar di Kota Semarang. Sebelumnya sudah menjadi pegawai dari sebuah BUMN besar di Indonesia dengan gaji yang menurut saya lumayan, tetapi setelah dua tahun bekerja dia memutuskan untuk keluar dan malah membuka kafe di kampung saya ini.

Teman saya bercerita sekilas tentang pekerjaan lamanya. Pekerjaan lamanya ini gajinya sekitar tiga setengah juta  (UMR daerah cuma dua juta). Kebanyakan mengenai administrasi dan jarang keluar ruangan. Dia bekerja di Kota dekat kampung saya. Yang jadi masalah adalah teman saya ini baru menikah saat ini dan jarak rumahnya dari kantornya adalah tiga puluh kilometer (kalau di kampung saya perjalanan dengan motor cuma satu jam paling lama). Biasanya teman saya kost dekat kantornya dan pulan tiap akhir minggu. Karena istri mulai hamil maka teman saya berusaha memperbanyak waktu di rumah.

Teman saya kemudian berkonsultasi dengan teman-teman yang lain mengenai pekerjaan yang kira-kira bisa dilakoni di kampung saya ini, tetapi kebanyakan lebih memilih tetap di BUMN tadi karena cari kerja itu susah. Sampai akhirnya dia berkonsultasi dengan teman kami seorang wiraswastawan yang membuka studio foto di kampung kami. Dia menyarankan coba pikirkan sesuatu yang kamu sukai dari diri kamu sendiri, bisa menghasilkan uang, dan kalau bisa belum berkembang di kampung kami.

Teman saya kemudian melihat bahwa di kampung saya banyak sekali remaja dan dewasa muda yang suka nongkrong, tetapi tempat nongkrong yang ada cuma warung kopi biasa yang kecil di pinggir jalan. Kopi yang disajikan pun hanya kopi instan dengan pilihan rasa tergantung merknya saja. Menurut teman saya kopi ini sangat membosankan dan aromanya kurang enak. Teman saya kemudian berpikir bahwa mungkin anak-anak ini akan suka jika dibuat tempat nongkrong seperti dia biasa nongkrong di Semarang dulu yaitu kafe ber-AC dan internet gratis. Selain itu teman saya jug ingin menjual kopi yang lebih baik yaitu yang digiling sendiri dengan formulasi sendiri sehingga rasa dan aromanya lebih fresh dan kaya.

Lalu teman saya mulai melakukan survey ke Semarang dan bertanya-tanya mengenai proses pembuatan kopi. Banyak juga belajar dari YouTube. Survey ke produsen kopi di beberapa sentra penghasil kopi sampai akhirnya dia menemukan tempat penghasil biji kopi yang berkualitas tetapi murah.

Setelah mendesain ruangan akhirnya diputuskan kalau AC terlalu mahal jadi akhirnya cuma berkonsep kafe dengan internet gratis.

Pada awal dibuka warungnya sepi karena harganya terlalu mahal, tetapi seiring waktu banyak anak-anak muda yang berdatangan terutama mereka yang baru pulang dari berkuliah. mereka mencari tempat nongkrong yang mirip dengan tempat mereka biasa nongkrong waktu kuliah yaitu yang ada internet gratisnya. Selain itu kabar juga menyebar kalau kopi di kafe ini lebih wangi dari tempat lain. Orang-orang jadi penasaran sehingga mereka mulai berdatangan. Ada merasa cocok dan kembali datang ada yang asal penasaran saja.

Dari kafe ini teman saya mengatakan mendapat keuntungan sekitar 5-9 juta dalam sebulan (sangat berfluktuasi). Keuntungan itu sudah dikurangi biaya belanja kopi, krimer, gula, listrik, internet, dan lainnya. Tetapi ini dicapai setelah bekerja setelah tiga bulan. Pada tiga bulan pertama kafenya sangat sepi karena merupakan konsep baru yang tidak dikenal oleh warga kampung saya dan harganya yang lebih mahal dari warung kopi biasa juga membuat pengunjung enggan mampir. Jam buka kafe teman saya ini dari jam 5 sore hingga 12 malam (kalau ditambah bersih-bersih kafe dan gelas sampai jam 1 dini hari).

Menurut teman saya berbisnis kafe ini banyak enaknya meski ada tidak enaknya. enaknya adalah tidak ada tekanan dari atasan karena harus menyelesaikan target, lebih fleksibel, punya kuasa penuh, hasil kerja langsung dinikmati tidak perlu menunggu naik pangkat. tidak enaknya adalah semua tanggungjawab jadi mengarah langsung ke dirinya jadi kalau pengunjung kafenya buang sampah sembarangan bisa kena tegur warga sekitar, ada elemen ketidakpastian karena tidak mendapat gaji tetap, saat musim libur justru harus kerja ekstra karena kafe jadi tambah ramai. Tetapi yang paling penting adalah tujuan utamanya tercapai karena kafe dibuka di halaman depan rumah sendiri sehingga teman saya selalu ada untuk istrinya.

Menurut teman saya memang benar bahwa sebaiknya bekerja sesuai dengan kegemaran masing-masing karena itu membuat lebih rileks dan tidak terasa berat. Selain itu jika bidang yang ditekuni sesuai dengan kegemaran maka akan ada rasa ingin terus menjadi lebih baik dan ingin terus makin ahli sehingga bisnis lebih cepat berkembang.

Itu saja dari saya semoga bisa memberi inspirasi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Meskipun sudah delapan tahun yang lalu, tetapi saya masih ingat bagaimana sulitnya agar diterima di perguruan tinggi negeri apalagi kalau jurusannya favorit. Saat itu saya punya tujuan agar masuk ke sebuah PTN di Jakarta dengan jurusan yang spesifik, tetapi karena dalam hati saya juga meragukan diri saya sendiri maka saya juga mendaftar ke beberapa PTN lain, tetapi saya tidak mau masuk ke Perguruan Tinggi Swasta karena biaya yang dikeluarkan pasti sangat mahal dan orang tua saya mengatakan tidak mampu kalau harus ke PTS. Setelah mengikuti bimbingan belajar yang melelahkan, melakukan diskusi dengan senior dan teman yang sudah diterima, dan mengalami sendiri rasanya Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau UMPTN (pada zaman saya namanya SNMPTN lalu berubah jadi SBMPTN dan apalah namanya sekarang) dan penerimaan lain yang digelar oleh PTN secara mandiri saya menyimpulkan ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan oleh anda yang ingin sukses dalam UMPTN ini. 1. Ikut Bimbel ...

Masalah Kuliah di Jakarta

Setelah sebelumnya saya membahas mengenai alasan saya memilih kuliah di Jakarta yang sebenarnya sangat kekanak-kanakan, pada tulisan ini saya akan berusaha menjelaskan masalah yang timbul pada saya saat pertama kali mulai berkuliah di Jakarta delapan tahun yang lalu. semoga saja tulisan ini bisa membantu anak-anak muda dari daerah yang berencana datang ke Jakarta untuk kuliah. saya akan berusaha memberi solusi agar semangat kalian untuk belajar di ibu kota tidak padam. percayalah selain hal-hal yang saya sebutkan ini masih banyak kelebihan lain yang bisa kalian dapat di ibukota. 1. Macet Macet di Jakarta dan sekitarnya adalah hal yang sangat terkenal dan mengerikan bagi orang dari daerah. Di kampung kendaran serba cepat di sini serba lambat. sebenarnya solusi dari masalah ini sederhana yang penting sudah tahu saja kalau pada jam-jam tertentu jalanan bisa sangat macet sehingga harus mengatur waktu supaya berangkat lebih cepat agar tidak terlambat.Beberapa teman saya bahkan b...